I Wibowo (2001)

 TEGAR TAPI TAK PATAH

I.Wibowo

Melihat karya-karya Dolo, saya mempunyai kesan dia tidak mengarahkan perhatiannya kepada ide abstrak, yang melahirkan patung-patung abstrak non-figuratif. Sebagian besar patung-patungnya mengambil figure manusia sebagai obyek. Tapi inipun bukan manusia asal manusia. Manusia yang diminati oleh Dolo adalah manusia yang bergerak, dari tari yang gemulai hingga geliat kesakitan.

Tapi perhatikan juga wajah-wajah patung Dolo. Saya amat terkesan bagaimana ia membuat wajah-wajah itu selalu dengan mulut terbuka, entah berbicara, menyapa, menjerit, mengerang, juga tersenyum. Ambillah contoh patung Perempuan dan Tembok (1996). Wajahnya mendongak, mulutnya terbuka lebar, matanya terarah ke matahari. Apa yang ingin dikatakan? Atau, tepatnya, apa yang ingin diteriakkan?

Eksplorasi yang terfokus pada gerak dan wajah ini memang memungkinkan si pematung untuk secara maksimal menangkap realitas penderitaan. Penderitaan (bahasa Latin: Dolor) merupakan tema yang menduduki banyak patungnya. Geliatnya adalah geliat kesakitan, dan teriaknya adalah teriak penderitaan. Terutama pendeeritaan perempuan. Dalam sebuah masyarakat yang amat patriarkhis ini Dolo memprotes lewat patung-patungnya. Dalam Resistante (1996), misalnya. Patung ini terdiri dari sebuah bentuk leher melengkung yang menyakitkan dan disertai jeritan yang terlepas dari mulut sepadan dengan kesakitan itu. Tapi perempuan ini menolak untuk roboh. Tangannya masih mengepal.

Mungkin sejak tahun 2000 ada pergeseran cukup berarti pada karya Dolo. Patung-patungnya berupa patung kolektif. Empat patung utama adalah Solidarity, (2000) The Grief, (2001) dan CeritaPerempuan, (2001) Pieta (2001). Ketiganya sungguh menimbulkan suasana reflektif yang mendalam yang terasa dalam pengamatan menyeluruh ataupun perhatian pada memperhatikan detil-detilnya.

Patung Solidarity tidak bias tidak membuat orang diam merenung. Patung ini terdiri dari tujuh perempuan (satu diantaranya sedang hamil tua), dan tangan mereka bergandengan bersilangan membentuk rantai manusia. Cuma tangan perempuan di ujung kiri yang teracung ke atas, lambang semangat perjuangan. Masing-masing melepaskan ekspresi yang unik, dan nampak semuanya tengah bernyanyi. Siapa perempuan-perempuan ini? Pasti bukan perempuan gedongan, ibu-ibu pejabat, karena kaki dari perempuan itu besar-besar, symbol para buruh kerja kasar. Sangat mengherankan bahwa World Bank mau memajang patung ini di galerinya padahal patung ini sarat dengan kritik terhadap sepak terjang para kapitalis itu.

Tujuh perempuan muncul lagi dalam Cerita Perempuan. Tetapi mereka bukan semua buruh, selebihnya ada seorang ibu rumah tangga, seorang mahasiswa, seorang artis, seorang aktivis, bahkan seorang borjuis (yang membawa tas merk Channel!). Sulit bagi saya menduga mengapa Dolo menjejerakan para perempuan ini bersama-sama. Mungkinkah mereka dipadukan oleh sebuah teriakan yang mereka suarakan bersama untuk melawan penindasan terhadap kaum perempuan?

Patung-patung kolektif dari Dolo ini kiranya ingin membawa ke sebuah refleksi yang lebih jauh. Persoalan-persoalan yang dihadapi seseorang, terutama kaum perempuan, pada dasarnya bukanlah persoalan orang per orangan atau pribadi. Ia menyangkut banyak orang lain. Penderitaan seseorang, misalnya, adalah penderitaan dari orang-orang yang ada disekitarnya, entah tidak. Ini secara dramatis Nampak pada patung Pieta. Judul ini mengingatkan patung Michelangello, yaitu patung seorang ibu yang memangku jenasah anaknya (Maria dan Yesus). Tetapi oleh Dolo hal ini ditafsirkan secara baru. Si ibu tidak sendirian. Tengah ia meratapi anaknya yang mati, ia dikelilingi oleh empat atau lima perempuan yang lain. Mereka semua ikut berbagi duka, dan tentu saja memberikan hiburan. Tema serupa juga nampak pada The Grief.

Dolo memang banyak mengangkat penderitaan kaumnya. Patung-patung Dolo hampir sebagian besar menokohkan perempuan. Entah selagi dia gembira, atau sedih, entah sedang sendiri atau bersama-sama. Isu gender terasa dominan. Tapi perhatikan juga bahwa perempuan-perempuan yang lahir dari tangan Dolo bukan perempuan yang dikuasai emosi pembalasan. Mereka memang perempuan yang berani mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memperjuangkan hak nya, tetapi juga pandai menari, bahkan menari dalam gerak yang amat gemulai.

Sebuah karya unik yang mungkin lahir dari sebuah ilham khusus adalah patung Life Cycle (1998). Si orang itu membungkuk dalam-dalam, melihat kea rah arus. Tafsiran dari postur ini sungguh filosofis. Kehidupan ini sering dimengerti sebagai garis linear untuk menerima dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Menurut Dolo, hidup ini bak sebuah siklus perubahan dari memasukkan dan mengeluarkan. Manusia memang memasukkan banyak, tetapi manusia juga harus mengeluarkan banyak. Ia tidak boleh terkurung dalam kegiatan memasukkan dan menumpuk. Hidup adalah juga member dan membagi. Lambang yang dipakai sangat pas: melihat apa yang dapat dikeluarkan oleh tubuh.

Saya pernah membuat komentar pendek yang katanya, mengagetkan “Selesai saya melihat patung-patung karyamu, saya merasa badanku sakit-sakit.” Ini saya katakana sebagai sebuah compliment baginya. Saya melihat bagaimana patung-patung Dolo membuat gerakan yang mengandalkan tulang belakang yang kokoh dan sekaligus lentur. Manusia-manusia ciptaan Dolo pada umumnya tegar, tapi juga mampu membungkuk, melengkung, menengadah, dan merentang. Ini barangkali sebuah pesan umum dari karya-karyanya: tegar tapi tak patah.

Ketika saya menyanggupi permintaan Dolo, saya mengajukan satu syarat. Saya mau menulis dari sudut pandang orang peminat, lebih spesifik suka dengan patung-patung yang dibuat oleh Dolo. Mudah-mudahan tulisan pendek dan sederhana ini dapat ikut mengiringi pameran tunggalnya di Jakarta.

I.Wibowo, tinggal di Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Heidi Leanne Arbuckle (2001)

M.Firman Ichsan (2001)