Detlef Gericke-Schönhagen (2001)
Pameran Dolorosa Sinaga di Galeri Nasional (9-Okt-01 sampai
30-Okt-01): Käthe Kollwitz
-Dolorosa Sinaga
Setiap seniman mempunyai idolanya. Jika Dolorosa mengunjungi Berlin, maka Museum Käthe Kollwitz
(1867 – 1945) dulu hidup di Berlin. Sebagai perempuan dia bekerja dalam sebuah domain yang didominasi oleh laki-laki, secara konkret dia bekerja dalam sebuah masa yang dibentuk oleh abstraksi. Dia adalah seorang seniman perempuan yang secara sosial terlibat penuh dan radikal. Walaupun gayanya konservatif, dia telah mengembangkan retorika gambar-gambar yang kuat, yang sampai sekarang belum ada tandingannya. Tumbuh dalam sebuah keluarga kelas menengah yang solid dan religious, sejak kecil dia sudah bersentuhan dengan music dan sastra. Ayahnya tidak mau memasukkan dia ke sekolah umum yang pada waktu itu member pendidikan yang keras dan seragam, karena itu ayahnya menyediakan Käthe
dan saudara-saudaranya pelajaran privat. Käthe Kollwitz
muda bukanlah seorang pemberontak, tapi sejak awal, jalan kehidupannya tidak konvensional. Ketika berumur 16 tahun, cita-citanya sudah pasti, ingin menjadi seniman. Ketika dia hidup di daerah pedesaan, kehidupan kaum buruh tani telah menarik perhatiannya, perhatian ini kemudian beralih kepada kehidupan kaum proletariat industry. Dia beranggapan bahwa manusia-manusia ini “indah”.
Käthe Kollwitz
dilahirkan pada tahun 1867 di Konigsberg. Meninggal pada tahun 1945 di Berlin. Apa yang menghubungkan Käthe Kollwitz
dengan Dolorosa Sinaga yang dilahirkan di Sumatra pada tahun 1953? Keduanya mengambil tema-tema dari konteks sosial mereka, dari persoalan sosial dan politis zaman mereka. Karya-karya mereka penuh kehangatan dan empati.
Satir dan penggambaran yang melebih-lebihkan bukanlah kecenderungan mereka.
Käthe Kollwitz
maupun Dolorosa tidak menyindir para penguasa yang suka mabuk-mabukkan bersama nyai-nyai mereka di rumah-rumah bordil dan panti pijat, yang dikontraskan dengan penderita cacat korban perang atau anak-anak jalanan, seperti yang ditampilkan secara piawai oleh George Grosz dan Otto Dix. Käthe Kollwitz
dan Dolorosa menggambarkan para korban dan bukan pelaku, mereka lebih suka memperlihatkan kaum perempuan dari pada laki-laki.
Manusia-manusia dengan perasaannya yang paling elementar, sering sebagai mahluk yang disiksa, tapi tak pernah sebagai mahluk biadab yang rakus. Mereka memperlihatkan manusia yang menderita di bawah kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan. Käthe Kollwitz
memperlihatkan figur-figurnya dalam kekalahan mereka. Kelaparan, kemiskinan, peperangan, kehilangan, perpisahan dan kematian adalah tema-temanya. Bagi manusia-manusia Kathe Kollwitz, segalanya telah lewat. Mereka hanya tinggal punya kepedihan. Juga dalam perlawanan dan pemberontakan – dimulai dengan siklus grafis terhadap roman “Germinal” karya Zola dan drama karya Gerhart Hauptmann tentang “pemberontakan buruh pintal” – ikut tersirat juga kesia-siaan revolusi serta kekalahan yang telah teramalkan.
Kehilangan, perpisahan, kematian, kelaparan dan kemiskinan adalah juga tema-tema Dolorosa.
Tapi pada figur-figurnya semua terbuka. Dolorosa memperlihatkan mereka dalam kepedihannya, tapi mereka bersedih dalam kebersamaan. Mereka tidak sendirian. Mereka tidak “selesai”. Mereka carut-cemarut, tapi tidak hancur. Mereka lemah tapi tidak lumpuh.
Mereka masih berjuang melawan. Ada perut yang membusung ke depan, ada rantang beras yang diangsurkan ke depan, ada kepalan tangan yang ditinjukan ke atas. Itu adalah tanda-tanda bagi hidup baru yang terus bergulir. Tangan figur-figurnya saling mengulur.
Ada juga adegan sehari-hari dari kehidupan di pasar atau di desa. Adegan-adegan yang pernah dilihatnya dari pose sikap dan gesture di Jawa. Seorang perempuan mengangkat rok sampai hampir di atas lutut, menjulurkan kepalanya ke depan seperti seekor ayam betina yang siap menyerang dan mendesis: “I don’t want to bargain with you anymore”.
Perempuan penjual di pasar itu pastinya tidak bisa berbahasa Inggris. Dan Kata-kata bahasa Inggris itu bukan terjemahan dari bahasa Jawa. Kata-kata itu berasal dari piringan hitam “Led Zeppelin”, kelompok music rock yang terkenal pada tahun 70-an asal Inggris.
Dolorosa punya selera humor, semua yang mengenalnya tahu itu. Manusia-manusia Käthe Kollwitz
dibendakan dan dijadikan objek. Yang paling inti dari manusia-manusia ini, yang tertinggal pada mereka, adalah kepedihan. Hanya dalam kepedihanlah mereka masih menjadi diri sendiri. Apa yang dibiarkan Dolorosa pada figur-figurnya dalam kepedihan adalah perlawanan untuk berkata “Tidak” dalam kebersamaan dengan mereka yang memiliki keberanian yang sama. Dalam kepedihan itu, figur-figur Dolorosa berada dalam kebersamaan yang kuat. Manusia sebagai mahluk yang tak terjamah dan tak terjangkau, ya yang sempurna – pada Käthe Kollwitz
muncul dalam kepedihan yang dalam dan hebat pada orang-orang yang telah menyerah.
Pada Dolorosa, kesempurnaan itu ada dalam figur-figur perempuan yang menari. Di Asia Tenggara, dimana ritual tarinya yang berakar kuat dalam kebudayaan pedesaan, utopi semacam itu, yakni sebuah dugaan samar tentang kemungkinan eksistensi manusia, dapat muncul dalam keniscayaan dan kesempurnaan. Secara teknis, Käthe Kollwitz
mungkin saja sanggup memunculkan utopi semacam itu, tapi dia tidak punya model dalam kehidupan sehari-hari di kota besar. Di halaman belakang rumah-rumah dan lembah-lembah jalanan Berlin, orang tidak menari, mereka hanya hidup secara vegetative. Tarian adalah hak istimewa kaum elit, para pemenang perang dan pewarisnya, kaum kaya dan necis. Sampai sekarang sisa dari anggapan itu menetap dalam kesadaran manusia sebagai praduga yang tetap bertahan terhadap bentuk seni tarian.
Di provinsi-provinsi di Jawa, orang menari pada setiap kesempatan yang ada, dalam pesta keluarga dan perayaan panen, pada pesta sunat, perkawinan dan pemakaman.
Pada saat setelah perang maupun sebelum perang. Nenek, kakek, anak-anak, cucu-cucu, semua selalu menari dan akan terus menari. Ada penari-penari yang cemerlang, ada yang biasa saja.
Ritual dan bentuk diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan patung-patung tarinya, Dolorosa tidak menjauh masuk ke dalam dunia mimpi. Kalau dia menggambarkan orang-orang yang menari, dia meski dengan segala budaya massa, meski dengan MacDonald dan Madonna masih tetap dekat pada kenyataan hidup di Jawa dan Sumatra.
Dolorosa sudah banyak membentuk perempuan yang menari. Sendirian, berdua dan bahkan dalam formasi kelompok besar. Orang-orang yang menari itu saling bersentuhan, mereka bergerak ke atas dalam bentuk spiral, saling memilin, kemudian saling menjauh lagi, berjalinan satu sama lain para penari Dolorosa seperti pasangan kekasih. Dan pasangan kekasih memang seperti penari.
Manusia, bagi kedua seniman perempuan ini, dibendakan, dapat disakiti dan dapat dihancurkan. Pada saat yang sama, manusia mereka adalah mahluk yang tak tersentuh dan tak teraih, ya, sempurna. Jangkauan pengalaman yang memadat dalam patung-patung Käthe Kollwitz
dan Dolorosa Sinaga sama jauhnya, tapi penampakan pada titik ujungnya, berbeda.
Karya kedua seniman perempuan itu bertema tentang kepedihan sebagai kategori elementer: sesuatu yang lewat bahasa tak dapat dilenyapkan dan tak dapat dihapuskan dalam keterkaitan makna. Dan kedua seniman perempuan ini, secara implicit dan tak terucapkan, sampai pada tuntutan yang sama, yakni untuk membangun sebuah dunia, di mana jika mungkin kekurangan, penderitaan dan kesakitan dihindarkan dari manusia. Ini adalah tuntutan yang muncul dari zaman Aufklarung (Pencerahan) di Eropa sebagai garis akhir kehidupan yang baik dan benar yang berlawanan dengan Abad Pertengahan di mana kepedihan dalam praktek inkuisisi, perburuan tukang sihir dan penyiksaan adalah fenomena umum.
On The Dolorosa Sinaga exhibition at the National Gallery (9-Oct-01 to
30-Oct-01) : Käthe Kollwitz – Dolorosa Sinaga
Detlef Gericke-Schönhagen
When Dolorosa Sinaga visits Berlin, the first place she heads
for is the Käthe
Kollwitz Museum.
Käthe Kollwitz (1867-1945) worked as a woman
in a field dominated by men; she created figurative work in a time when
abstraction was a leading style. She was an artist who was radically engaged in
social questions. Somewhat conservative from a stylistic point of view, she
developed a rhetoric of powerful images that has never been equaled since.
Raised in a respectable, devoutly religious middle-class family, she came early
to music and literature. Her father did not want to expose her to the monotony
and rote learning of the schools of that age, but instead provided private
tutoring for her and her siblings. The young
Käthe Kollwitz was not rebellious, but her path in life was already
determined to become an artist. While she still lived in the rural countryside,
she was fascinated by the life of them farm laborers; later, living in the
cities, by that of the industrial workers. She found these people “beautiful.”
What is the connection between
Käthe Kollwitzand Dolorosa Sinaga?
Both artists take their themes from the social context, from the
social and political debates of their times. Their images are full of warmth
and sympathy. Satire and caricature are not their concern. They do not parody
the powerful with their wine-reddened noses and their courtesans, in their
bordellos and message parlors, contrasted with crippied war veterans and street
urchins like those in the – masterful – scenes by George Grosz and Otto Dix.
Both of them show the victims and not the victimizers, and they
prefer showing women, not men. Humans in their most essential emotions, often
as mistreated creatures, but never as greedy animals. They portray people
suffering under the powerful and the abuse of power, not those who abuse it.
Käthe
Kollwitz portrays her subjects in their defeats: hunger, poverty, war, loss,
parting and death are her themes.
For the people, everything is already finished. They have nothing
left but their pain. Even in revolt and rebellion, as in the early graphic
cycles based on Zola’s novel Germinal
and Gerhart Hauptmann’s drama about the Weavers’ Rebellion,” the uselessness of
the revolt is plain from the start, the defeat is anticipated.
Loss, parting, death, hunger and poverty are also Dolorosa’s
themes. But with her subjects, matters are still open. She shows them in their
pain, but they moum together, not alone. They are not finished. They are
shaken, but not defeated. They are weak, but not yet overwhelmed. They are
still struggling. Here a belly is pushed forward, there is rice bowl full of
grain is held out, and a fist is thrust upwards. Signs of unceasing life and of
new life. Her subjects hold out their hands to one another.
There are also everyday scenes of life in the marketplace or the
village. Gestures and poses observed in Java: a woman puls her skirt up just
over her knee, sticks her head forward like an aggressive chicken and hisses.
“I don’t want to bargain with you anymore.”
The market-woman certainly cannot speak English. The line comes
from a record by “Led Zeppelin,” the English cult-rock group from the 1970s.
Dolorosa has a sense of humor, as everyone who knows her knows.
Käthe
Kollwitz’s people are subjugated and objectified. Their indestructible core,
the last thing that remains to them, is their pain. Only there are they still
themselves.
What Dolorosa allows her subjects, besides their pain, is their
protest, the ability to say “no,” the company of those who dare to do the same.
In this way her subjects are intimately inter-connected and collective beings.
Human beings as untouched and inaccessible, indeed perfect
creatures – for
Käthe Kollwitz they exist in the bottomless
depths of the pain of those who have been defeated.
For Dolorosa, this is embodied in her dance subjects. In Southeast
Asia, with its dance rituals rooted deep in rural culture, such a utopia, such
a presentiment of the possibilities of human existence can arise with this kind
of naturalness and perfection.
Käthe
Kollwitz would have been able to do this, technically; but in the everuday life
of the metropolis she had no models for it. In the black alleys and tenements
of Berlin, people didn’t dance – they vegetated. Dancing was the elitist
privilege of the war profiteers and those who had managed to escape the chaos,
of the rich and the distinguished. Even today, many Germans retain a residual
consciousness, a persistent prejudice against the art of the dance.
In the provinces of Java, people dance at every opportunity: at
family celebrations and the harvest festival, at circumcisions, weddings and
funerals. After the war and before the war. Everyone danced, and they still
dance – grandparents, children, and grandchildren. Some are radiantly good
dancers and others compensate with enthusiasm what they lack in skill. Ritual
and form are handed down from generation to generation. Dolorosa is not
withdrawing into a dream world with her dance sculptures. When she shapes her
dancers, she is – still, and despite all mass culture, despite MacDonald’s and
Madonna – close to the heart of everyday life in Java and Sumatra.
Dolorosa has modeled countless dancers. Alone, in pains, and even
in large groups. Her dancers cuddle up to one another, they move upwards in
spiral patterns, they entwine and pull apart again. Dolorosa’s dancers are like
lovers. And lovers are like dancers.
For both artists, human being are subjugated, vulnerable,
destructible. At the same time, they are untouchable and inaccessible, indeed
perfect creatures. The range of experience crystallized in the works of
Käthe
Kollwitz and Dolorosa Sinaga is equally broad, but the specific expressions are
different. Both ceuvres address pain as an elemental category: something that
cannot be adequately expressed by speech or resolved into a another more
meaningful context.
Both artists arrive at the same implicit and unspoken demand: the
good and just life. This is a goal that harkens back to the best of the human
tradition, such as the ideals of the European enlightenment the emerged in
opposition to intolerance and fatalism. In the work of these two artists, we
see the world in all its terrible ugliness but also catch a glimpse of a world in
which human bodies are free of want, suffering, and pain.
Komentar
Posting Komentar