Mamannoor (2001)
Patung Dramatik Dolorosa Sinaga: Saksikan Cerita Perempuan
Mamannoor
Di musim dingin 1993, saya tercekat di depan patung tembaga
“Kathe Kollwitz” karya seorang perempuan pematung Jerman Timur. Kollwitz
dihadirkan duduk (diam) dalam ekpresi keanggunan, kehormatan, dan ketegaran
seorang perempuan di tengah pelataran sebuah taman kota Berlin Timur yang
lengang. Konon, karya ini sengaja dipersembahkan sebagai tanda penghargaan
kepada perempuan ‘jawara grafis’ yang paling menonjol di Jerman sepanjang abad
ke-20. Sikap menghargai tokoh perempuan perupa ini tak luput pula dilontarkan
oleh sejarawan dan pengamat seni rupa macam Whitney Chadwick. Inilah sebuah
gambaran, betapa tokoh seni rupa di Jerman telah memperoleh tempat yang layak
untuk dimonumentasikan karena jejak-jejak perjuangan hidupnya.
Saya bayangkan, telah tiba pada gilirannya; patung Kartini,
Dewi Sartika, Tjut Nyak Dhien, Christina Martatiahahu, atau perempuan-perempuan
pejuang lainnya menghiasi taman-taman kota di Indonesia. Di pusat kota Kutoarjo
memang sudah hadir patung Nyi Ageng Serang tengah menunggang kuda dengan
gagahnya. Hanya saja, pasti pematungnya bukan seorang perempuan. Tentu harusnya
monumen ini karya seorang perempuan pematung Indonesia.
Namun kita tahu, bahwa kenyataannya memang cukup sulit
mencari daftar panjang perempuan pematung di Indonesia. Sepanjang setengah abad
ini, pelaku dunia seni rupa kita masih didominasi oleh kaum laki-laki. Seakan,
seni rupa di negeri ini baru menjadi milik laki-laki. Kalaulah para lelaki
perupa ini memberikan kesempatan kepada perempuan, umumnya sebagai objek tema
dari karya-karyanya. Terlebih lagi, sangatlah diminati bila diri perempuan
kerap digambarkan dalam ‘ketelanjangan’nya.
Dalam banyak kenyataan, subyek perempuan telanjang dalam seni
rupa dianggap sebagai pemuas pandangan dan imaji pengalaman yang berharga bagi
kaum lelaki. Bagi kaum perempuan perupa, kenyataan ini tidak menyulut ‘dendam’,
karena mereka umumnya tidak bergairah untuk membalikkan kenyataan. Bahkan,
tentunya tak demikian banyak perempuan perupa mengangkat obyek lelaki sebagai
‘tembakan’ tema-tema karya mereka. Sebaliknya, secara terang-terangan pun
perempuan perupa (khususnya para pematung) cukup langka mengangkat objek
perempuan dalam karya-karya mereka. Dari sedikit jumlah itu, salah satu
diantaranya, adalah Dolorosa Sinaga.
Sepanjang pengetahuan saya, Dolorosa Sinaga lebih banyak
menampilkan ‘gambaran pengalaman dunia perempuan’ dalam karya-karya patungnya.
Pastilah ia punya alas an dan tujuan. Kendati ia mengungkapkan tema perempuan,
tak tertangkap olehnya bahwa perempuan memiliki sumber ‘keindahan’ dalam artian
permukaan (tubuh). Ia memang bicara soal tubuh perempuan, namun esensi fisik
bukanlah tujuannya. Karya patung Dolorosa tidak untuk menyajikan tubuh sebagai
sebuah cerminan dunia (perempuan), melainkan tubuh dibaca sebagai suatu cara
melihat potensi besar (manusia) dalam proses merasakan makna kebebasan di
dunia.1
Seraya menangkap ‘getaran’ tubuh-tubuh dalam karya Dolorosa,
bisa diingat pula ihwal pernyataan si pematung jenius Henry Moore. Ia
mengemukakan perihal istilah vitalisme.
Katanya; “Bagi saya karya lebih utama harus memiliki vitalitasnya sendiri. Saya tidak
mengartikan suatu refleksi vitalitas hidup, gerakan, aksi fisik, kecekatan,
atau tarian sosok, dan sebagainya, melainkan sebuah karya dapat memiliki suatu
desakan energy, sebagai suatu kekuatan hidupnya sendiri, kebebasan menghadirkan
dirinya.
Ketika suatu karya memiliki vitalitasnya yang kuat, kita
tidak berupaya mengkaitkannya dengan kata Keindahan. Sebab, ada perbedaan
antara keindahan ekspresi dan kekuatan ekspresi”.2 Kekuatan ekspresi
sebagai vitalitas daya mikro yang berkaitan dengan dunia dalam (inner), lebih bicara ketimbang keindahan
ekspresi yang lebih makro dan berada di permukaan (outer).
Geliat tubuh dalam karya-karya Dolorosa adalah daya tahan dan
kekuatan melawan, dunia dalam yang memberontak, terkurung dalam tubuh atau
terlepas sebagai gerak.
Karenanya, tubuh membangun gerak-gerak dramatik lewat
desakan-desakan jiwanya yang menekan dan membeludak. Dolorosa tampaknya
demikian yakin bahwa ia adalah seorang wanita yang dapat mengisyaratkan serta
mewakili cerita dan pengalaman wanita pada umumnya. Ia berada dalam tegangan
antara peluruhan dan perlawanan ‘kodrat’ perempuan sekaligus. Kodrat ini
berkenaan dengan ‘kekuasaan’ konvensional soal perempuan (seksualitas, peran
sosial, atau wacana peralihan ideologi) di satu sisi.
Sedangkan di sisi lain, dalam teori feminis, wanita secara
terus-menerus menentang asumsi-asumsi konvensional tentang seksualitas dan
gender, mengetengahkan isu-isu identitas dan terlibat dalam debat mengenai
ideology, media massa, dan kinerja penguasa.3
Setidaknya, menurut Whitney Chadwick, teori ini mencoba
menolak gambaran tentang wanita sebagai ‘tanda’ dalam tata kekeluargaan
patriarchal, karenanya seksualitas feminis selalu menjadi representasi
perbedaan.
Karya-karya Dolorosa bisa kembali kepada gambaran yang lazim
tentang eksistensi perempuan dengan tidak perlu menyesali sifat fisiknya. Pada Perempuan dan Tembok Bata (1996), geliat
perempuan yang tertahan oleh beban peran sosial, menunjukkan sebuah makna
perlawanan terhadap tegangan diri yang terkungkung. Dolorosa memang ingin
memberontaki dirinya dari tegangan konvensi lingkungan, gejolak mengeluk ke
dalam yang tertahan pada Resistante (1996).
Kendati sesungguhnya nyaris serupa misalnya dengan ungkapan geliatan mengeluk
ke luar pada Arch of Hysteria (1993)
karya Louise Bourgeois. Keduanya, secara konotatif bias membawa kepada suasana
tegangan yang menekan.
Wanita tak bakal merasakan citra dirinya dalam kesendirian,
sebab di mana pun sebagai sebuah pengalaman, cerita perempuan kerap menyadari
keberadaannya secara bersama-sama.
Cerita Perempuan (2001) adalah sebuah gambaran yang
seakan telah menjadi kodrat diri perempuan di dalam fungsi sosial keseharian.
Untuk itu, acapkali perempuan ‘harus’ memberdayakan dirinya dalam sebuah
kebersamaan ‘meneriakan pemberontakan’ terhadap kodrat itu (Solidaritas, 2001). Kebersamaan ibarat
sebuah ikatan kesamaan yang digalang selama dibutuhkan sikap ‘senasib’ (Lifelong Companion, 2001). Kalaulah
sebuah kenyataan demikian telah mendudukan kaum perempuan di dalam sebuah
suasana dukacita yang mendalam (The Grief,
2001). Maka, kaum perempuan bisa ‘merayakan’ dukacita tersebut sebagai realitas
yang bisa diterima (Pieta, 2001) dan
ditolak lewat kebangkitan (Solidaritas,
2001).
Dari awal, feminisme dalam seni, berkomitmen untuk
mengetengahkan asumsi-asumsi tentang kepercayaan yang membentuk seni
garda-depan yang berhubungan dengan Modernisme.
Namun tradisi ini telah terlampui melalui pikiran-pikiran
Post-Modernisme yang telah digunakan untuk mencirikan penghancuran tradisi
Modernisme. Isu subjektivitas dan identifikasi tubuh perempuan dalam cara
pandang lain telah lebih jeli mengurai hubungan perempuan dengan alam,
generasi, dan kehidupan. Ia telah menjadi area pengkajian penting bagi
feminisme kontemporer.4
Selaras atau tidak, karya-karya Dolorosa telah masuk dalam
area pengkajian ini sebagai sebuah ‘realitas baru’ untuk menapaki
bentuk-bentuknya, agar terlepas dari kungkungan ‘realitas lama’. Seiring dengan
itu, dunianya telah larut dalam kondisi dramatik sosial global masa kini.
Ketegangan sebagai suatu keniscayaan dalam masa transisi ini
justru dinikmati Dolorosa untuk menyiasati perkembangan kekhasan gayanya.
Figur-figur yang mengisyaratkan adanya atribut perempuan bersanggul (Indonesia)
bukan lagi satu-satunya ciri yang me-lokal, namun telah tercerabut ke pergaulan
global. Sehingga tampak sekali bahwa perempuan-perempuan yang dihadirkannya
adalah dirinya sendiri. Sosok-sosok perempuan dalam patung Dolorosa tak perlu
menerima sangkalan, itulah dirinya. Ia bermain di wilayah realitas yang bisa
diterima secara empiris dan sekaligus di ruang imajinya. Hal ini tentunya
dibutuhkan energi besar untuk menghapus jejak-jejak subyektif.
Dolorosa dengan bebas bisa menyusun teksnya sendiri melalui
bahasa dramatik, baik lewat ekspresi wajah-wajah sosoknya atau pun pengadegan
yang didukung gerak-gerak bentuknya.
Secara sadar ia mengeksploitasi
unsure garis pembentuk barik (tekstur) yang sangat memperkuat ekspresi
dramatik. Tiada yang diam dalam pembentukan sosok-sosoknya.
Bahkan, di sinilah sesungguhnya teks dan visual yang hendak
dibicarakan Dolorosa. Ia tidak lugas bicara dalam metafor, melainkan sepenuhnya
mengandalkan representasi di dalam bahasa dramatiknya. Karena itu pula, sia-sia
bila kita berharap adanya kesan puitik dalam ekspresi dramatiknya. Imajinya
telah menyeret kita pada representasi pengalaman-pengalaman tata ‘pentas’ tanpa
simbol dan metafor (simak Sister, Take Me Dance With You, 2001).
Ini menjadi bagian penting dari sikap tegas dan ‘kejujuran’
Dolorosa. Di situ pula letak kehendak ‘puitik’ dari setiap sosoknya.
Kesia-siaan berharap yang puitik tidak terletak pada logika visual, melainkan
pada kekuatan ekspresinya. Terlebih lagi, bila kita membayangkan “Sister, take
me dance with you” dalam perbesaran skala 1:10, menjadi monumen gagasan yang
pasti memikat.
Catatan :
1
Simak paragraf akhir teks curator John Roosa dan Alit Ambara yang
mengutip pernyataan Paul Klee.
2
Simak pernyataan Henry Moore tentang “Vital Image” sebagaimana dikutip
oleh Herbert Read, A Concise History of Modern Sculpture, Frederick A.Praeger,
Publishers, New York, 1968, hlm. 163.
3
Simak himpunan tulisan para kritikus seperti Hal Foster, Craig Owens, dan
Douglas Crimp yang dikutip Whitney Chadwick, Women, Art, and Society, Thames
and Hudson, London, 1997, hlm. 385.
4
Ibid, hlm.280 dan 380
Komentar
Posting Komentar