Marco Kusumawijaya (2001)
Seribu Tubuh, Satu Kemanusiaan
Marco Kusumawijaya
Seribu tubuh, satu
kemanusiaan: lihatlah apa yang dapat dikatakannya, dengarkan apa yang mau
ditunjukannya!
Demikianlah ringkasan saya mengenai karya-karya Dolorosa
Sinaga.
Sebenarnya memang cukup aneh bahwa di masa (seni) kontemporer
tanpa pusat, dengan semua bentuk mutasinya, ketika sangat sedikit orang
terpelajar pernah merasakan dan benar-benar memahami (apalagi menyetujui)
universalisme dari humanism renaissance,
karya-karya Dolorosa justru memancarkan pertanyaan-pertanyaan yang berpusat
pada manusia, baik yang bersifat estetis maupun etis, baik yang bersifat
individual maupun kolektif, personal maupun social.
Apakah artinya ini, bagi suatu masyarakat dan suatu waktu di
mana Dolorosa berada?
***
Sebabnya pertanyaan di atas pantas mengemuka, adalah karena
nyatanya karya-karya Dolorosa itu kontekstual – setidaknya secara
inspirasional, tidak semata-mata Kristen, dan tidak bersifat perayaan, kecuali
barangkali The Dancer dan Sister, Take Me Dance With You (2001),
yang di tengah-tengah perayaannya akan kegembiraan dari kebebasan bergerak,
tokoh serta-merta mengingatkan kita akan betapa malangnya bila orang tidak jadi
diajak bebas menari.
Pemirsa The Grief
(2001), sejauh ia telah menginap di negeri ini selama setidaknya dasawarsa
terakhir, serta merta menangkap bukan saja pesan, tetapi juga latar di balik
semuanya. Dalam caranya, tubuh-tubuh itu berlaku teatrikal: ia tidak sedang
merayakan keindahan tubuh manusia, melainkan mengekspresikan pengalaman
universal kemanusiaan oleh sejumlah particular manusia Indonesia. Dolorosa
hamper sepenuhnya berbicara mengenai negerinya yang sedih, dimana manusia
dipinggirkan dari pusat, kehilangan pusat, tercabik-cabik oleh daya-daya yang
tidak ia mengerti, terkoyak oleh duka yang tidak berani ia tegaskan
penyebabnya, ketiadaan kepercayaan akan para pemimpinnya, terbagi-bagi oleh
keinginan-keinginan yang saling bertentangan, tidak perdulian dan tanpa
kendali. Persisnya: semua hal yang sebenarnya anti-manusia, setidaknya bila
dihadapkan pada apa yang dirayakan oleh humanism renaissance. The Grief adalah
karya tonggak Dolorosa yang akan kita pakai untuk mengukur perjalanan dia
berikutnya.
Dolo memiuh (mendistorsikan) tubuh bukan untuk tujuan gaya
formalistic. Ia hendak mencoba batas-batas kelenturan dan daya tahan manusia,
secara fisik maupun secara spiritual. Ia juga habis-habisan mengguratkan
emosinya pada hamper semua permukaan, sehingga mereka – permukaan-permukaan itu
– menjadi relief historis tersendiri
mengenai gundah-gulana dan kegemasan emosinya dalam proses. Ya, ekspresi
permukaan pada patung-patung Dolorosa harus mendapatkan sebutan tersendiri –
untuk sementara ini: relief. Karena
ia dalam, baik material maupun emosional, karena ia mempunyai sejarah. Ada relief yang enteng, bergerak
perlahan-lahan hamper tanpa tekanan seperti pada Dua Perempuan dan Anaknya (2001). Ada “relief” yang berlari cepat, bergurat dalam, dengan tekanan gemas.
Ada yang terbentuk dari lipatan dan tempelan berlapis-lapis. Bersama semua itu,
dengan begitu banyak postur, gestur dan sedikit mimik, maka tubuh manusia
perempuan, disamping nilai simbolisnya, telah menjadi wahana yang mencukupi
bagi Dolo untuk membahasakan semua yang mau dikatakannya, semua yang mau
ditunjukannya, mengenai semua hal yang anti-manusia yang menimpa manusia.
Namun, tunggu! Ada yang sangat manusia yang dirayakan, bahkan
diteriakan dan dihimbaukan. Ini terletak pada aura dari patung-patung itu: aura
heroisme perjuangan yang tidak mungkin tidak manusia. Mulut menganga, membuka
komunikasi. Solidaritas. Ibu menerima kejatuhan tubuh anak. Rangkulan. Semua
keharuan yang ingin mengukuhkan bahwa keadaan dapat diubah atas dasar kekuatan
kolektif – social manusia.
Lagipula, bukankah hamper semua patung-patung ini ditampilkan
bersikap frontal, langsung, berterus-terang dan menantang?
Tubuh perempuan telah dipilih, karena ia memiliki kemungkinan
plastis maupun ekspresif yang lebih dibandingkan yang laki-laki. Tubuh
perempuan mengalami lebih banyak daripada yang dialami tubuh laki-laki. Yang
paling penting adalah bahwa tubuh perempuan mengalami Life Cycle (salah satu judul patung yang dipamerkan) bukan saja
secara penuh (dalam arti semua tahapan rutin manusia) tetapi kaya (banyak
pengalaman kemanusiaan luar biasa, yang tidak ‘standar’, yang terjadi padanya).
Disamping itu, tubuh perempuan mengalami dunia secara empatik. Tubuh perempuan
adalah pusat dari kehidupan, peristiwa dan pengalaman. Dengan tubuh perempuan,
dunia, kehidupan dan kemanusiaan dapat ditampilkan lengkap.
Jadi untuk apa mencoba-coba media, bahan atau metoda lain?
Pemirsa karya Dolorosa karena itu memang tidak usah terlibat dalam perdebatan
teoritis dan pusing tentang “yang kontemporer”, yang rupanya sedang terpesona
oleh ilusi yang hendak dipunahkannya sendiri ketika keluar rumah: keharusan
untuk terus menerus menjadi inovatif dan “lain”.
Karya-karya Dolorosa tidak berambisi menjadi “lain”, apalagi
inovatif pada tingkat teoritis dan konseptual. Ia hanya berusaha bermutu pada
tingkat penggarapan tema dan kemampuan mengekspresikan emosinya kepada pemirsa.
Kesadaran bahwa karyanya mengandaikan kehadiran pemirsa sangat tinggi, tetapi
tanpa maksud menyihirnya ke dalam ilusi. Sebab itu banyak karyanya tampil
frontal bersahaja, cukup dilihat dari muka, berhadap-hadapan seperti orang
berbicara satu sama lain.
Sikap frontalnya juga meminta pengamatan dari satu titik
diam, tidak perlu bergerak berputar atau bergeser ke kiri-kanan. Ini berarti
meminta sikap kontemplatif. Sebab memang tema-tema yang diangkat Dolorosa –
belakangan ini makin banyak yang bersifat social dan politis – memerlukan
kontemplasi, bukan merangsang sensasi. Patung-patungnya mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi untuk minta diamati secara tekun, karena ia sendiri
memancarkan pesona dan menciptakan medan ruang disekitarnya. Memang ini bukan
ruang yang dapat berinteraksi secara fisik: ia tidak dapat dimasuki. Ruang ini
adalah halo yang bergoyang-goyang mempengaruhi pemirsanya dengan cerita dan
emosinya. Pemirsa tidak perlu memasuki ruang itu, melainkan cukup diminta turut
merasakan pesan dan emosi dari penciptanya.
Ini adalah patung-patung, yang bahkan ukurannya memudahkannya
akrab dengan pemirsanya.
Karena itu karya-karya Dolorosa adalah seni patung yang mudah
dimengerti oleh para arsitek. Patung-patungnya adalah massa bentukan yang padat
– hampir sebagai antithesis ruang, yang adalah garapan para arsitek.
Patung-patung Dolorosa menciptakan halo pesona di sekelilingnya. Ia
menggetarkan ruang, memberi isi dan hidup kepada ruang. Ia serta merta
mengingatkan arsitek kepada hakekat seni patung yang klasik: obyek yang
berpendar dalam ruang. Ia adalah seni patung yang berpasangan abadi dengan
arsitektur, setidaknya dalam definisinya sebagai ‘seni ruang’ ia tidak berupaya
menyainginya sebagai ‘seni instalasi’. Ia tidak menjadikan ruang sebagai
bahannya, tetapi cukup mempertimbangkannya sebagai kehadiran bersama yang
niscaya, dan dalam beberapa kesempatan memanfaatkannya untuk memperkuat dirinya.
Pada The Grief, misalnya, digarap
dinamis interaksi ruang-ruang yang dalam terminology arsitektur akan disebut
‘mikro’. Beberapa tubuh di sisi kanan yang dibetot ke atas-belakang dan samping
telah menciptakan ruang-ruang lapang menggelembung pada dada-dada datar yang
pilu tapi marah menantang itu. Tubuh-tubuh di sisi lain yang ditekuk
dalam-dalam mencipta ruang-ruang merongga yang kelam, yang mengingatkan akan
relung-relung dalam hati kecil kita, yang mungkin masih ada. Interaksi,
tepatnya magnetism antara kiri dan kanan, antara kekelaman yang dendam dan
kelapangan marah yang telanjang, menarik pemirsanya lekat-lekat pada dirinya.
Sementara sikap figur dan gestur bagian-bagian tubuh yang pasif dan aktif
memendarkan seluruh The Grief ke
ruang sekitarnya, ruang makro. Kepiluan yang menghujam berbaur kemarahan yang
galau dan kepedihan yang menggila tak mengerti.
Patung-patung Dolorosa yang menghadap satu arah mengingatkan
kita pada bas-relief ataupun patung-patung
dalam tradisi Hindu dan Budhisme yang bermaksud menyampaikan pesan-ajaran yang
otoritatif dan memang menuntut kontemplasi. Tetapi ia juga sangat modern dengan
kehematan dan kesahajaan. Tubuh di-abstraksi-kan menjadi minimalis, menjadi
sekedar alat ekspresi dan symbol. Proses ini juga menghasilkan rasionalitas
dalam arti keterkendalian, yang hanya mungkin dihasilkan oleh penguasaan teknik
yang matang.
Proses abstraksi tubuh menjadi ekspresi ini juga makin member
makna kepada tubuh perempuan itu sendiri, karena adalah suatu perjuangan
penting untuk membebaskannya dari kemungkinan penafsiran oleh laki-laki sebagai
obyek sensasi.
Pieta, tampil sebagai bas-relief yang inovatif. Kita melihat komposisi tonjolan-tonjolan
kepala dan tangan yang keluar dari tubuh-tubuh yang menyatu menjadi sebuah
latar. Namun iramanya bukanlah gerakan horizontal maupun vertical. Iramanya
adalah hubungan timbul-tenggelam antara bagian-bagian dan tubuh-tubuh itu.
Bersama Pieta
(2001) dan The Grief (2001), kita
memang melihat suatu generasi karya-karya Dolorosa yang mengolah hubungan
bentuk yang kompleks antara banyak-tubuh, sekompleks hubungan social antara manusia-manusia
itu dalam kehidupan nyata. Lahirnya karya-karya generasi ini nampaknya
berhubungan erat dengan tema-tema sosial yang belakangan mulai digarap
Dolorosa. Pada saat yang sama, ini merupakan tantangan yang sebanding,
konsekuensial dan logis bagi perjalanan karirnya sebagai pematung. Pada
karya-karya bertubuh-banyak, dituntut penguasaan substantiv dan teknis yang
tegas melebihi tingkat sebelumnya. Karya-karya lain dalam periode mutakhir ini
adalah; Cerita Perempuan (2000); Solidarity (2000).
Tentu saja kesibukan dengan tema sosial dan hubungan
banyak-tubuh yang kompleks tidak menghentikan Dolorosa dalam menjelajah
kemungkinan-kemungkinan baru dalam karya-karya tubuh tunggal dua, atau tiga
tubuh. Dua Perempuan dan Anaknya
(2001) terdiri dari tiga tubuh yang hampir-hampir datar menyatu menjadi latar
bagi tonjolan-tonjolan minimal dari organ tertentu saja, secukupnya untuk
menyatakan identitas. Ia juga menyempurnakan penjelajahannya dengan gerak
berputar dan konsekuensinya pada keseimbangan serta reaksi benda lentur kain
pada Sister, Take Me Dance With You (2001).
Menariknya yang terakhir ini adalah ia menunjukkan bahwa gerak menegaskan ruang
di sekitarnya, dan menciptakan ruang yang baru, yang selanjutnya menopang gerak
tersebut. Ini mengingatkan apa yang pernah dikatakan mengenai arsitektur oleh
Derrida: yang menegaskan adanya ruang itu tidak bisa benda semata, tetapi benda
yang berpindah (bergerak) di dalamnya. Mobilitas benda menegaskan imobilitas
kehampaan.
Bila pada karya-karya banyak-tubuh ia menggarap tema sosial
dan kompleksitas hubungan antar tubuh, karya-karya satu-tubuh Dolorosa
habis-habisan menjelajahi hakekat postur dan gestur sebagai alat ekspresi dan
batas terjauh plastisitas yang ditawarkannya. Puncak dari ini adalah Resistante (1996) dan Life Cycle (1996). Beberapa karya
melengkapi satu-tubuh dengan tubuh lain yang jauh lebih kecil. Puncak dari
kelompok ini adalah Mother and Child (1998).
Pada karya-karya dengan dua-tubuh dasar, Dolorosa menjelajahi hubungan
emosional dan manusiawi antara dua-manusia, yang merupakan basis dari hubungan
yang membedakan manusia dari bukan-manusia. Rupa-rupanya ini menjadi dasar yang
penting ketika ia menggarap tema-tema sosial dengan banyak tubuh sebagai
bahannya.
***
Akhirul kalam: jadi, apakah artinya karya-karya Dolorosa
Sinaga, bagi suatu masyarakat dan suatu waktu di mana ia berada?
Patung-patung Dolorosa, meskipun berskala akrab dan personal,
makin menyentuh soal-soal publik, baik yang sosial, kolektif, maupun politis.
Di satu sisi, emosi-emosi yang diprovokasinya bersifat sangat personal,
meskipun temanya besar, public, bahkan universal. The Grief, misalnya, membuat orang ingin menangis di kamar sendiri.
Tetapi pastilah ia bukan menyangkut kematian yang bersifat pribadi, melainkan
menyangkut kejadian-kejadian mutakhir dalam konteks kolektif bangsa Indonesia
belakangan ini.
Barangkali inilah pesan Dolorosa yang paling penting: yang
publik itu, pada tingkat empati, akhirnya terjadi, berdampak dan terasa, pada
yang personal. Soal-soal publik itu menjadi sangat penting tanggung-jawabnya
dan berat maknanya, justru ketika disadari bahwa bagaimanapun juga ia akhirnya
mengena pada tiap orang per orang, individu manusia yang nyata, yang tidak
abstrak dalam bentuk statistik dan direduksi dalam sebutan konstituen, warga,
konsumen, rakyat, anggota, masyarakat, pendukung, pengagum, pemilih, hak suara,
massa, demo, dan lain-lain. Publik itu, rasakanlah sebagai jumlah empati
tiap-tiap orang, kalau mampu…
Sebaliknya, yang paling terasa berat secara personal itu –
tanggung jawab, kepedihan, pun kegembiraan, yang terasa oleh tiap-tiap manusia
– bukankah semestinya yang kolektif, yang menyangkut hidup bersama? Meskipun
dalam kenyataannya kita sering mengetahui terjadinya pengaburan ke dalam
kebersamaan semu justru untuk menghindari tanggung jawab pribadi…
Terutama melalui beberapa karya mutakhirnya, Dolorosa telah
berupaya membuat soal-soal publik terasa menggetarkan ruang-ruang pribadi
tiap-tiap pemirsa patung-patungnya. Mungkinkah kini waktunya membalikkan proses
tersebut: membawa perasaan-perasaan pribadi akan persoalan-persoalan kolektif
ke ruang publik?
Ruang-ruang publik di kota-kota di negeri yang sedih ini
sebenarnya telah lama kehilangan kepublikannya dalam arti kebersamaan
masyarakat sipil. Telah terlalu lama ruang-ruang itu didominasi oleh
pernyataan-pernyataan sepihak penguasa dan kepentingan partisan. Sedangkan
ketika ada kehadiran masyarakat sipil di dalamnya, tidak jarang hanya merupakan
representasi konflik semata. Sebabnya? Sebabnya adalah bahwa yang ditampilkan
itu adalah soal-soal publik menurut perspektif emosi kelompok, yang sudah tidak
lagi manusiawi, karena penuh dengan kedengkian, kepentingan memangsa, menolak
dan bahkan ingin menidakan yang lain. Berkelompok dalam cara demikian bukanlah
hakekat manusia, melainkan insting hewani. Itu bukanlah ciri masyarakat
manusia, melainkan kawanan hewan.
Karena itu, perspektif yang ditawarkan Dolorosa sungguh harus
dibawa ke ruang publik. Sebenarnya memang ada rasa “tidak proporsional” antara
tema-tema publik yang digarapnya, dengan ukuran patung-patungnya, dan kemudian
membayangkannya berada di dalam ruang-ruang keluarga para kolektor. Bukankah
patung-patung yang bertema publik itu selayaknya berada di ruang publik, untuk
khalayak ramai, dengan ukuran yang sesuai, tentunya?
Setidak-tidaknya patung-patung Dolorosa itu di ruang publik
akan merupakan ‘saingan dari bawah’ terhadap program pematungan Jakarta yang
sedang gencar-gencarnya dicanangkan Pemda DKI ‘dari atas’. Persaingan ini
patut, sebab menampilkan apapun di ruang publik adalah urusan publik, adalah
terutama urusan masyarakat warga kota yang bersangkutan, bukan sekehendak ‘penguasa’nya.
Kesenian di ruang publik bukan sekedar untuk menghibur, melainkan juga untuk
mengenang dan menegaskan sentiment publik. Maka keputusan mengenai apa yang mau
di kenang dan ditegaskan itu di dalam ruang publik, yang dapat diibaratkan
sebagai ‘ruang keluarga’ masyarakat kota itu, tentulah pula harus merupakan
keputusan bersama yang cukup bulat, mendalam, dan bermutu. Soal mutu itu pantas
diingatkan. Sebab kita masih belum habis piker mengenai kelakuan pemerintahan
ini yang terus menerus menciptakan antagonisme dengan masyarakatnya. Kita belum
– tidak akan – selsai prihatin dengan rendahnya tingkat pengetahuan dan
keterampilan mereka mengenai ‘kepemerintahan modern’, apalagi ‘good governance’. Kita makin menyadari
rendahnya pemahaman mereka mengenai ‘ruang publik’ sebagai bukan saja konsepsi
fisik, tetapi juga konsepsi psikis kolektif bangsa, yang tidak boleh
sembarangan ditafsirkan sepihak. Inilah pemerintahan yang, misalnya telah
menganggap cat putih yang tidak rata lebih baik daripada lukisan dinding para
pelukis muda kita. Bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan dan ‘selera’
mereka mengenai patung yang baik? Satu dua pemimpin memang pernah mendapat ‘hak
istimewa’ merumuskan semangat kolektif bangsanya, seperti Sukarno misalnya,
secara sepihak, bahkan otoriter. Tetapi itupun terjadi dalam kondisi lampau
yang tidak memungkinkan lain. Lagipula, mereka itu, dengan standar apapun,
kualitas jauh diatas pemimpin-pemimpin yang ada sekarang inipun sepatutnya tahu
diri, bisa merasakan bahwa di mata rakyat integritas dan kompetensinya sama
sekali tidak memungkinkan mereka mengambil keputusan yang penting mengenai
masyarakatnya sendiri.
Lagipula apa salahnya kita menangis bersama di ruang publik,
di hadapan The Grief itu? Bukankah
seharusnya demikian, mengingat kejadian akhir-akhir ini, di sebuah negeri dan
kota yang menyedihkan ini? Siapa tahu, menangis bersama akan mengawali
kebersamaan dalam banyak hal lain yang sudah lama menuntut hal demikian, di
sebuah negeri dan kota yang menyedihkan ini…
Jakarta, September 2001
Marco Kusumawijaya, pemerhati seni rupa yang menetap di
Jakarta.
Komentar
Posting Komentar