Martin Aleida (2001)
DOLO: satu impresi
Martin Aleida
Seni adalah hasil proses pergulatan dalam menentukan pilihan. Setidak-tidaknya inilah yang bisa diraba dari kekuatan dan kelenturan jari Dolorosa Sinaga. Setelah satu dasawarsa bergumul dengan berbagai media, terutama kayu dan batu pualam, akhirnya dia memutuskan untuk mengasah kemahirannya pada kerasnya perunggu sebagai media pernyataan sikap.
“Dengan media kayu, aku merasa tidak berkembang. Aku dibatasi gerak yang semata-mata mengurangi. Pada lilin dan tanah liat sebagai media, aku berhadapan dengan desakan untuk menambah, ditantang untuk mencapai bentuk yang kuinginkan,” katanya ketika diminta memberikan uraian mengenai “cintanya yang terakhir,” yang jatuh pada metal yang tua itu.
Bagi kalangan seniman,
pernyataan tersebut barangkali bukanlah kesimpulan baru yang merangsang. Namun,
buat orang awam, dengan kesadaran yang sedang-sedang saja, ungkapan itu bisa
membangkitkan tafsir tentang betapa tingginya Dolo dalam memuja dan
mempertahankan lingkungan yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
Tetapi, barangkali, pergeseran terpenting dalam perjalanan kesenian Dolo adalah ketika dia meninggalkan seni patung abstrak pada pertengahan kariernya dan beralih pada pijakan yang nyata dengan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas yang ditawarkan oleh bentuk tubuh manusia yang kongkrit. Untuk itu tempatnya bertolak tampaknya sudah cukup kuat, terutama setelah dia menempa diri dengan studi anatomi selama dua tahun di St.Martin’s School of Art, Inggris. Penguasaannya atas bentuk tubuh memberinya peluang yang lebih besar dalam menampilkan “jiwa”dari bentuk fisik yang dipoleskannya dengan sentuhan-sentuhan tangan yang kuat. Meminjam kata-kata curator John Roosa dan Alit Ambara, dengan penguasaan anatomi tubuh, Dolo telah menemukan media “komunikasi visual” dalam menyampaikan keyakinannya sebagai seniman dengan watak yang melekat pada wanita Batak, jujur dan berterus-terang.
Di studionya yang kecil di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, Dolo melakukan pengembaraan yang kaya dalam upaya mengungkapkan emosi manusia. Dia menuangkan sikap hidup dan greget dirinya sendiri sebagai wanita dalam bentuk orang-orang yang sedang meraung dalam perlawanan menentang ketidakadilan. Ada cinta sejati yang dia pahatkan dalam dekapan kuat seorang ibu pada anaknya. Ada kesetiakawanan, kekecewaan. Ada pula pergelutan demi kebebasan. Dan, karena dia juga adalah seorang perenung, maka di sana ada juga gerak yang memancing munculnya berbagai kemungkinan imajiner yang dilambungkan untaian kain yang melambai dengan subtil dari seorang penari Bedoyo.
Sudah dua dasawarsa dia mengabadikan gerak dalam diamnya patung. Di manakah kedudukan Dolorosa sekarang ini? Dalam perspektif perbandingan di dalam dunia seni patung, pertanyaan itu barangkali menjadi tidak begitu penting. Karena orang kelihatannya akan memperdebatkan sikapnya yang dengan sengaja mendobrak konvensi tentang sebuah patung yang harus bisa memberikan pesan utuh kalau dilihat dengan berkeliling 360 derajat – tiga dimensional. Dolo kelihatannya ingin menghemat energy public dengan memberikan aksentuasi pada satu sisi. Untuk menghindari pecahnya perhatian pada inti pikiran yang ingin dia sampaikan. Tidakkah dia bisa “dimaafkan” karena melangkahi kebiasaan-kebiasaan “lama” untuk mencapai sesuatu yang bisa kita terima dengan lapang dada sebagai satu keberhasilan?
Paling tidak sebagai
ungkapan dari penghayatan dan keterlibatannya dalam gerakan pembebasan wanita.
Dalam banyak patungnya, polesan-polesan tangan boru Sinaga ini terasa teramat terburu-buru.
Terlalu lugas. Tak
heran, seperti yang dia katakan sendiri dengan berkelakar, “Ada yang merasa
tubuhnya jadi kejang-kejang setelah melihat patungku.” Inilah seni Dolorosa
Sinaga, yang menjadikan tubuh sebagai alat untuk berbicara dengan public,
dengan dunia yang berakar di luar sosok tubuh yang dia ciptakan. Beginilah
nasib yang tidak bisa dihindari oleh patung-patung yang bersikap dalam
menghadapi ketimpangan sosial dan pembodohan zaman.
Dolo sendiri dengan
terus-terang mengakui memperoleh pengaruh dari Kathe Kollwitz, pematung wanita
Jerman yang menjadi juru bicara yang sangat mahir bagi para korban
kesewenang-wenangan kekuasaan, perang, dan pemakzulan kemanusiaan.
Melalui guratan-guratan jarinya, Dolo mengungkapkan emosi dan sikap sosialnya dengan jelas, tanpa harus bersembunyi di balik metafora. Dia tanpa segan-segan menyatakan keberpihakannya pada mereka yang terbuang, yang sedang berjuang membebaskan diri dari kungkungan kemiskinan dan penindasan. Pada patung The Grief (2001), Dolo terlihat dengan jelas berada di antara sosok-sosok tubuh yang merangkul seorang mahasiswa yang jadi korban keganasan militerisme, yang dengan sia-sia berupaya mempertahankan seorang tiran yang sudah jatuh.
Lepas dari kritik bahwa Dolo terlalu verbal dan kurang jauh dalam pengembaraannya untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pernyataan artistic, hamper mustahil untuk tidak mengatakan bahwa Dolo, dengan beberapa patungnya yang menonjol, seperti Resistante (1996), sudah selayaknya ditempatkan dalam timbangan bobot yang sukar dicari bandingannya secara nasional. Dan, kalau ditilik dari satu sudut, tidak terlalu berlebihan barangkali untuk mengatakan patung perlawanannya itu adalah Le Penseur Rodin dalam dimensi mimpi tentang kebebasan, yang dinyatakan dengan torehan-torehan jari yang tegas, dinamis.
Lebih dari 30 patung yang tampil dalam pameran tunggal Dolorosa Sinaga di Galeri Nasional bulan Oktober 2001 ini bertemakan anti-kekerasan, gerakan wanita, perlindungan anak, persaudaraan dan kesedihan, yang disebutkan Dolo sebagai “lima monument” ladang pemikirannya. Sebagai gelanggang pameran tunggalnya yang pertama, dia tentu saja menampilkan beberapa karya baru. Satu di antaranya dan yang barangkali penting untuk diamati adalah patung wanita sedang berdoa, berjudul Andung-Andung Ni Tangiang (2001).
Bagi Dolo, patung wanita sedang berdoa ini punya kedudukan emosional tersendiri.
Dekatilah patung itu,
dan dengarkan apa kata Dolo. Ceritanya, ketika kecil, ayahnya mencita-citakan
anak peempuannya ini menjadi seorang pendeta. Tetapi, manakala sudah dewasa dia
membangkang, dan malahan memilih menjadi seniman. Hanya orangtua edan yang membiarkan anaknya mengejar
“cita-cita yang ganjil” semacam itu. Akibatnya, Dolo harus mencari nafkah
sendiri untuk menutup biaya pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta selama
dua tahun. “Kalau dia lihat, Bapakku akan suka dengan patung ini. Dia pasti
akan datang menonton,”kata Dolo, memantas-mantas karyanya itu di tengah-tengah
kesibukannya mempersiapkan pameran tunggalnya ini.
Yang pantas dicatat
dari patung tersebut adalah bahwa dalam berdoa, Dolo juga menunjukkan
pendiriannya yang kuat, yang menjungkirbalikkan. Lihatlah, sekalipun tangan
wanita itu saling mengepal, menghimpit dadanya yang tepos tak bertenaga, tetapi
kepalanya tetap tengadah, tidak tunduk. Walau meminta, sosok tersebut tetaplah
seorang wanita yang kuat, terbaca dari tumpuan kakinya yang kokoh, yang sengaja
ditempa tidak proporsional. Wanita suatu ketika boleh jadi akan memohon, tapi
takkan pernah menyerah, itulah barangkali yang ingin dikatakan Dolo. Dia
menolak, karena itu dia bukan seorang pendeta. Tetapi, dengan patung itu,
sesungguhnyaDolo telah datang kepada kita sebagai seorang pematung apostolic
dengan penafsiran baru mengenai penyerahan diri.
Wanita yang sedang berdoa atau wanita-wanita yang sedang bergulat, sama seperti patung Dolo yang lain, merupakan hasil upaya dalam mengangkat kenyataan-kenyataan dan menampilkannya dalam dimensi baru dengan keberpihakan nyata seperti perunggu pada mereka yang dikalahkan, tetapi yang sedang bangkit. Inilah inti kesenian Dolorosa Sinaga.
_______________________________________________________________________________
Martin Aleida, penulis yang menetap di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar