M.Firman Ichsan (2001)
Dolorosa: Pencarian Tanggungjawab Ideologis dari Sebuah Kerja Estetis
M.Firman Ichsan
Bertahun menyatakan diri sebagai pematung, lewat berbagai
pameran dan aktivitas publik lain yang berkait, melahirkan berbagai tulisan
tentang Dolorosa Sinaga.
Ada yang melihatnya sebagai perempuan pematung, berdasar
“keheranan klasik” atas pilihan seorang perempuan untuk menjadi pematung. Dan
ada yang melihat Dolo sebagai pematung perempuan, karena perempuanlah yang
mendominasi hampir seluruh karyanya, baik tema ataupun figur bersanggul. Di
luar itu tentu saja ada berbagai pendekatan lain yang dapat dikatakan telah
melengkapi bagasi kita untuk melihat karya –karya Dolo dengan lebih nikmat dan
inspiratif. Mereka yang menulis latar belakang keluarga, pendidikan dan
pengalaman Dolo, juga berjasa besar membantu kita lebih memahami proses
pembentukan citra rasa estetis maupun ekspresif hasil kerjanya, baik secara
wujud ataupun isi.
Tetapi agaknya masih ada celah-celah pertanyaan yang harus
diungkap dari perupa, pendidik dan birokrat ini ( ada pula yang mengkritiknya
sebagai otokrat). Pertama jelaslah berkaitan dengan pameran tunggalnya yang
pertama ini: Mengapa baru sekarang? Setelah lebih dari 20 tahun menjadi
pematung, dengan litany prestasi dan bentuk-bentuk pengakuan publik, maka
wajarlah kalau orang menggumamkan pertanyaan itu pada Dolo, paling tidak dalam 10
tahun terakhir. Apalagi kalau mengingat kegairahan berpameran tunggal, yang
didukung pasar, dari para perupa 2-3 dekade belakangan, pun bagi mereka yang
tidak begitu banyak memiliki hasil kerja.
Bagi yang pernah menanyakannya
langsung, akan mendapat jawaban kurang lebih: “Kalau berpameran bersama, maka
publik akan mempunyai lebih banyak pilihan, dari pada pameran tunggal”. Jawaban
yang mungkin saja arif, tapi menyiratkan ajakan kompetisi dan pula kesombongan.
Kalau banyak pilihan, maka publik akan memilih yang terbaik. Dan Dolo selalu
yakin bahwa dialah yang terbaik, minimal begitulah dia berusaha.
Pertanyaan kedua berkait dengan
perkembangan karya-karya Dolo sendiri: bagaimana bisa seorang Dolorosa Sinaga
pada karya-karyanya semakin lama semakin bernuansa politis, walau dalam
selubung humanis. Kalau mengingat bagaimana “anak menteng” ini ngebut dengan
dua roda mobilnya, tentulah jadi bingung bertanya melihat perubahan gemulai
genit penari-penari Dolo (Two Dancers,
1999) menjadi kepalan tangan kiri perempuannya (Solidaritas, 2000). Pertanyaan-pertanyaan itu sudah coba dijawab
dari berbagai tulisan tentang Dolo sebelumnya. Namun mungkin ada baiknya bila
kita coba menelusurinya dari perjalanan Dolo sendiri, sedikit dari sisi yang
lain.
Mengenal Estetika Dolorosa
Dalam berbagai wawancaranya terdahulu, Dolo selalu mengaku
bahwa pada awalnya dia bukanlah seorang “jenius” dan tahu pasti apa yang
dikehendakinya. Orang tuanya yang sukses sebagai pengusaha, tentulah mengerut
tidak setuju atas pilihan Dolo masuk ke sekolah seni, dari pada sekolah lain
yang lebih “umum” dan “normal”. Namun ketekunan dan kerja keras yang justru
ditanam dalam oleh ayahnya, menyebabkan dia mantap memilih dan menekuni media
yang digelutinya kini sampai lingkungan terdekatnya, keluarga, menerima dengan
sebuah pengakuan bangga. Dari sini saja kita sudah bisa melihat bahwa bentuk
estetika (formalis) yang didapatkan Dolo dalam pendidikan seni rupa di IKJ
(dolo adalah lulusan pertama dari Institut ini) dan juga pengalamannya di
St.Martin’s Art College, London, adalah garis pertama dan utama yang
mempengaruhi dan membangun estetika Dolo sekarang.
Dolo tidak mendapatkannya dari pergaulan atau keseharian
informal yang kemudian mendapat penegasan akademis, seperti tradisi sanggar di
Yogyakarta misalnya.
Pertama-tama Dolo mendapatkannya secara akademis. Pokok lain
yang harus dicatat dalam kaitan ini adalah pola organisasi dan sistematika
kerja Dolo. Dalam membangun dan menjalankan studio patungnya Somalaing1, Dolo
banyak terinspirasi oleh prinsip-prinsip kalvinis puritan, yang selama ini
dipraktekkan bapaknya dalam menjalankan perusahaannya.
Soal lain yang kiranya mempengaruhi perjalanan estetika Dolo
tidak lain dari kesehariannya sendiri. Lahir dari keluarga besar (8 bersaudara)
yang berada, dengan ikatan kekerabatan yang erat dan akrab, membuat Dolo
memiliki wawasan dan lingkungan pergaulan yang unik.
Orangtua (terutama ayah), berperan sebagai inspirator (dalam
prinsip kerja) sekaligus hambatan dalam bagi pengembangan diri dan karyanya.2
Dengan latar keluarga seperti itu, Dolo juga mempunyai kehandalan tersendiri
dalam bergaul dengan kalangan elit masyarakat Indonesia, tercermin dengan
diterimanya Dolo dalam berbagi kalangan elit. Berbagai penghargaan diterima
Dolo dari mereka ini, birokrasi pendidikan mempercayainya untuk menjabat
sebagai Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ untuk dua periode, Departemen Pariwisata
selalu mengundangnya untuk member masukan, dan Dolo juga menjadi penasihat
Dewan Tata Kota dan Pertamanan DKI.3
Semua ini menempatkan Dolo sebagai figure yang unik. Walau
kalangan elit itu tidak jarang menjadi sasaran kritik dalam karya-karyanya,
namun kelas sosial di mana Dolo dibesarkan tetap tampak dalam karya-karyanya.
Ketidakingkaran Dolo atas latar belakang sosialnya, yang secara sempit dilihat
bertentangan dengan tema yang dia angkat dalam karya, justru menjadikannya
khas. Figur-figur Dolo tidak pernah menunjuk secara khusus pada profesi
masyarakat tertindas tertentu, seperti buruh, petani, nelayan atau kaum miskin
kota, walau muncul dengan semangat perlawanan yang menggerakkan. Karena Dolo
tahu, dan jujur mengakui, bahwa dia tidak mengenal betul mereka.
Berkembangannya Seni
Perlawanan
Pertemuannya (dan akhirnya pernikahan setelah lebih dari 20
tahun) dengan Ardjuna, merupakan titik tonggak penting dalam perkembangan Dolo
selanjutnya. Ardjuna secara paradoksal selalu “tampil sebagai baying-bayang”,
mempunyai pergaulan yang khas dan terarah pada kesadaran sejarah dan rasa
keadilan. Melalui Ardjuna, Dolo diperkenalkan pada lingkungan pergaulan yang lain
daripada yang lain pada saat itu (pertengahan 1980-an).
Pada masa itu (mungkin juga sekarang) dibutuhkan keberanian
dan keterbukaan yang lebih dari biasa untuk sekedar bergaul dengan kaum yang
dinistakan pandangan politik kebudayaannya. Persahabatan yang panjanglah yang
membuat Pramoedya Ananta Toer mengijinkan mereka masuk ke kamar tidurnya untuk
meng-acupressure kakinya kalau dia sakit. Begitu pula ketika pagi-pagi Semsar
Siahaan sudah mengkumandangkan “seniku seni pembebasan”, mereka berdualah yang
menjadi salah sahabat-sahabat terdekat Semsar.4
Seakan seturut perkembangan sejarah, keterlibatan Dolo juga
semakin nyata. Diskusi “Refleksi Kebudayaan”5 adalah salah satu titik awal bagi
Dolo untuk menyatakan secara publik pendirian politik kebudayaannya. Acara itu
kemudian diikuti oleh berbagai pertemuan informal di rumahnya yang menjadi
salah satu posko Tim Relawan untuk Kemanusiaan pada Mei 1998, sampai
dukungannya pada perjuangan kemerdekaan Timor-Timur. Sejak awal 1999 sampai
sekarang di rumahnya secara rutin setiap bulan diadakan apa yang disebut
Diskusi Bulan Purnama. Sebuah pertemuan yang mendiskusikan berbagai tema, mulai
dari sosialisme sampai konstruktivisme Tatlin, mulai dari film documenter
sampai perjuangan anti kekerasan.
Keterlibatan-keterlibatan di atas berpengaruh besar dalam
perubahan dan perkembangan karya-karya Dolo yang paling mutakhir. Diawali
dengan trofi Suwardi Tasrif (Kuli Tinta,
1995) untuk pejuang kebebasan pers yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), trofi Yap Thiam Hien (Resistante,
1995) bagi pejuang HAM yang diberikan YAPUSHAM, Dolo kemudian membuat
karya-karya sendiri yang semakin kental nuansa politisnya. Perhatikanlah tahun
pembuatan rangkaian “karya figure kolektif” Dolo yang diawali Solidarity (1999), Monumen Anti Kekerasan (2000), The
Grief (2001), Gerak Berlawan
(2001). Namun jangan dilupakan Dolo tetap menggarap figur-figur penarinya, yang
menjadi salah satu cirri kuatnya dan juga disukai pasar.
Kita bisa mencatat juga karya-karya mutakhir penari-penari
ini seperti Sister, Take Me Dance With You (2001) atau The
Dancer (2001).
Perjalanan Estetika dan
Ekspresi
Oleh hubungan dialektis antara masa lalu Dolo dan lingkungan
barunya, lahirlah bentuk-bentuk baru dalam ekspresi. Ia perlahan mulai
meninggalkan citra estetis ataupun mistis yang hampir menjadi cirri pada awal
karya-karyanya, seperti kita lihat dalam dokumentasinya Pulungsari (1990),
Pulunggono (1990) atau Elusive Presence (1994). Karya-karya terakhir Dolo mulai
menyiratkan satu bentuk pernyataan akan kepedulian dan kegelisahan pada rasa
keadilan serta merta perlawanannya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa bentuk
awal Dolo adalah formalis akademis dan estetis. Jejak ini tampak dalam
penyajian seni perlawanan Dolo yang masih bisa dinikmati di luar konteks (karena
itu World Bank mau memajang Solidaritas
di kantor pusatnya).
Estetika masih unggul dalam karya-karyanya, apalagi sejak
awal Dolo memang sangat akrab dengan memberi isyarat melalui tubuh. Romantisme,
kadang melankoli (yang tidak sentimental) kuat terasa pada patung-patung Dolo.
Seberapa pun tegas dan galaknya perlawanan para perempuan Dolo, kita masih bisa
menangkap rasa itu pada lambaian kebaya atau pilinan sanggulnya. Dolo tetap
konsisten dengan pengolahan pada ekspresi dan kelenturan tubuh patung-patungnya,
apa pun tema yang dia hadirkan. Hal ini akan semakin jelas kalau kita
membandingkannya dengan baliho untuk pameran tunggalnya ini yang dibuat
kawan-kawan Dolo dari Yogyakarta: Lembaga Budaya Kerakyatan TARING PADI dalam
baliho yang merupakan respon/penterjemahan atas Solidaritas. Figur-figur
perempuan Dolo dalam Solidaritas menjadi lebih realis, menjadi lebih nyata
dengan pengalaman demonstrasi para perempuan di jalanan menuntut dihentikannya
kekerasan dan diturunkannya harga susu.
Begitu pula dengan bara api yang melatar belakang, dan
kehidupan rakyat kecil yang memenuhi baliho itu. Dolo tidak pernah menyampaikan
ekspresi semacam itu, karena dia tahu dia tidak berasal dari sana.
Menikmati ketegaran perempuan-perempuan Dolo, kita sekaligus
diajak merenung bertanya pada diri kita sendiri: Di mana kita di tengah semua
ini? Apa daya kita untuk mengubah ketidakadilan ini? Visual patung-patung Dolo
seperti mencerminkan sebuah kontradiksi, kekokohan materi perunggu yang mewujud
dalam bentuk perempuan yang tegak kaku, namun pada saat yang bersamaan
memancarkan image, kesan yang lentur, seolah gemulai.
Tetapi terkadang juga terbalut warna emas, cerminan dari apa
yang ada pada diri Dolorosa.
Pergulatan Estetika dan
Ideologis
Mengacu pada perkembangan Dolo sampai saat ini, terasa kuat
bahwa pergulatan estetis dan ideologis yang melatari pemikirannya masih terus
berlanjut. Sampai kapankah bentuk tubuh akan terus dibutuhkan Dolo untuk
menyampaikan apa yang ada di benaknya? Sebagai perupa yang trampil secara
tekhnis, estetis maupun visi, tidak heran kalau Dolo pernah meminjam Henry
Moore, juga Giacometti dalam figur-figurnya yang pipih, sampai kemudian
perlawanan Kollwitz. Perubahan bentuk penyajian fisik dari figur-figur patung
Dolo adalah paparan perjalanan Dolo sendiri. Dinamika kreatif dan estetis dari
penterjemahan visinya yang terus berkembang; satu ciri dari kehidupan seni yang
dinamis.
Memang ketika perupa bergelut dalam pemikiran-pemikiran non
estetis dan justru politis, ia harus lebih berhati-hati. Karena wujud karya
akan selalu dilihat sebagai satu pernyataan keberpihakan. Dolo tampaknya akan
terus memikirkan bagaimana kerja seninya yang muncul dalam bentuk figur
perempuan berlawan dan menari secara bersamaan, dapat dipahami sebagai sebuah
keutuhan yang bertanggung jawab.
Pergulatan Dolo masih terus akan berlanjut. Tetapi barangkali
ada jawaban atas pertanyaan: Mengapa baru sekarang Dolo berpameran tunggal?
Kiranya Dolo sudah merasa relative siap untuk menyatakan sendiri pada publik
pertanggungjawaban baik estetis maupun ideologis dari kerja seninya.***
1 Somalaing adalah nama orang Batak pertama yang terekspos ke
dunia intelektual Barat. Orang Batak menyebutnya ‘Guru Somalaing’ dan
menobatkannya sebagai ikon dunia pengetahuan Batak. Pemakaian nama ini untuk
sanggar Dolorosa adalah sebuah penghormatan terhadap sang Guru (profesi yang
kebetulan juga dijalani Dolo), juga sebagai cirri identitas Batak Dolorosa.
Pilihan nama ini sedikit banyak menunjukkan bagaimana Dolo memahami dan
bersikap terhadap latar belakangnya.
2 Dolo senang menceritakan komentar sang ayah atas
karya-karya si anak yang semakin mengental nuansa politisnya sejak paruh
pertama 1990-an: “Bagaimanapun juga pemerintah itu salah satu wakil Tuhan di
dunia. Kalaupun tidak baik, buah busuk suatu saat pasti akan jatuh dari
pohonnya”.
3 Dolo mengundurkan diri karena tidak berhasil menghalangi
rencana mereka mencat patung-patung perunggu yang ada di Jakarta.
4 Ketika Semsar mengalami patah kaki akibat dipukuli polisi
dan tentara saat demonstrasi melawan pembredelan Tempo, Editor dan Detik tahun
1994, di rumah merekalah Semsar tinggal sampai sembuh.
5 Diskusi ini dipicu oleh situasi kebudayaan yang tidak sehat
pada saat itu ketika terjadi kontroversi penghargaan Ramon Magsaysay pada
Pramoedya Ananta Toer (sejak awal 1995). Sekelompok sastrawan, penulis dan
tokoh kebudayaan menentang pemberian penghargaan bagi perjuangan kebebasan
kreatif untuk Pram. Mereka menganggap Pram tidak layak menerima karena
saat jaya dulu (sebelum 1965) dia juga
menindas kebebasan kreatif lawan-lawan politiknya. Kasus ini tidak tuntas,
karena ajakan Pram ke pengadilan untuk membuktikan kesalahannya tidak
ditanggapi. Diskusi ini sendiri malah menjadi semacam ajang solidaritas bagi
mereka yang selama ini ditindas oleh penguasa Orde Baru. Lihat: JKB, ed., Refleksi Kebudayaan, JKB, Jakarta,
September 1995.
Komentar
Posting Komentar