Riwanto Tirtosudarmo
Draft 1 (4 Maret 2024)
Dolorosa Sinaga, ngrogosukmo dan
Komunitas Epistemik
Riwanto
Tirtosudarmo,
Peneliti
Sosial Independen
Pengantar
Dalam tradisi agama Jawa ada sebuah
praktek spiritual yang disebut sebagai ngrogo sukmo Secara harafiah ngrogosukmo
berarti keluarnya sukma dari raga. Bagi yang menekuni laku spiritual Jawa ini ngrogosukmo
adalah sebuah kemampuan metafisis, biasanya melalui meditasi, dimana sukma si
pelaku itu dapat keluar dari raganya. Pada masanya, hanya setelah melalui
proses latihan fisik dan mental yang panjang, biasanya dengan bimbingan seorang
guru yang memimpin padepokan-padepokan, kemampuan ngrogosukmo hanya bisa
dicapai oleh mereka yang tekun, teguh dan asketik.
Mengamati patung-patung karya perupa Dolorosa
Sinaga yang hidup dan bergerak, saya merasakan ada sukma yang masuk ke dalam
patung-patung itu. Saya merenung, dan membayangkan Dolorosa ketika menciptakan
patung-patung itu seperti telah melakukan ngrogosukmo – mengeluarkan
sukma dari raganya. Proses penciptaan patung-patung itu, dalam perenungan saya
adalah sebuah meditasi ketika pada puncaknya sang perupa meniupkan sukma
kedalam tubuh-tubuh yang terbuat dari berbagai materi itu. Tubuh-tubuh itu perlahan-lahan
hadir menjadi subyek dalam ruang dan waktu. Subyek-subyek itu dalam totalitas
kehadirannya sebagai sebuah gestalt berbicara mengajak berdialog dan
memprovokasi kita.
Kesaksian dan Keterlibatan
Sehari setelah saya menyetujui,
permintaannya yang mengejutkan, untuk menjadi kuratornya, Dolorosa Sinaga
mengirimkan bukunya yang berjudul "Tubuh, Bentuk, Substansi". Buku 500-an
halaman itu merayakan kiprahnya sebagai pematung yang tanpa henti berkarya
selama 40 tahun. Buku itu menyajikan katalog lengkap karyanya beserta esai-esai
dari editornya. Alexander Supartono dan Sonny Karsono, kolega-koleganya dari
dalam dan luar negeri dan dari Dolorosa sendiri. Buku yang bahasanya
diselaraskan oleh Arjuna Hutagalung, suaminya, tak pelak lagi menjadi referensi
akademik terlengkap bagi siapapun yang ingin mempelajari Dolorosa Sinaga.
Boleh dibilang, saya sebenarnya tidak
mengenal Dolorosa Sinaga. Meskipun bisa dikatakan sama-sama berkecimpung di
dunia akademik, dunia akademik saya tidak bersentuhan dengan dunia akademiknya.
Namun, ini yang sedikit aneh, saya pernah menulis esai pendek tentang Dolorosa
(Kajanglako, 17 September 2019). Ketika itu, setiap minggu saya menulis tentang
seorang tokoh yang saya hormati untuk sebuah media online di Jambi, Kajanglako.com.
Tentu saja karena dunia saya adalah dunia akademik, tokoh-tokoh yang saya
tampilkan adalah sosok-sosok intelektual yang saya kenal. Entah kenapa sepulang
dari rumah seorang kawan yang menunjukkan patung perunggu karya Frederick
Remington (1861-1909) yang memperlihatkan bison melabrak kuda sehingga si
pemburu, Indian, terpelanting ke udara. Komposisi bison, kuda dan si Indian
yang melambung tapi masih memegang sais dan tombaknya itu menjadi gestalt yang
indah namun penuh tegangan; dan saya teringat sebuah nama: Dolorosa Sinaga.
Karya cipta perupa Dolorosa Sinaga adalah
teks, dalam pengertian A.A. Nafis,
cerpenis asal Sumatera Barat ketika mengatakan "alam berkembang jadi
guru". Karya Dolorosa Sinaga yang berupa patung-patung, kebanyakan
menggambarkan perempuan dalam berbagai posisi dan situasi, sendiri atau bersama
yang lain, selalu dalam gerak. Saya membacanya sebagai sukma yang membuat raga
menari, menyuarakan suara hatinya, nyanyi sunyi, pesan-pesan yang sering
tersumbat dan hendak disampaikannya ke ruang publik.
Dalam gerak hidup itulah saya melihat tarian
menjadi ritus. Ritus Dolorosa Sinaga adalah praksis seorang intelektual yang
tidak bisa diam melihat ketidak adilan, keterbelengguan dan mimpinya tentang
kebebasan dan kesetaraan. Dalam ritus yang menjadi praksis politik hidup
bersama di ruang publik itu ingatan tentang kelahiran, perjalanan, percakapan,
kegembiraan, perlawanan juga kepedihan, luka dan kematian; disuarakan. Melalui
patung-patungnya Dolorosa Sinaga menghadirkan ritus sebagai persembahan
(tribute, homage) sekaligus kesaksian (witness) dan keterlibatan-nya
(engagement) dalam ruang hidup bersama yang sering penuh konflik dan
ketegangan.
Melihat evolusi bentuk patung-patungnya
Dolorosa sudah menempuh perjalanan Panjang seperti pelaku spiritulis Jawa yang telah
mencapai kemampuan ngrogosukmo dan mencapai iluminasi sukma kedalam rupa
yang menetap. Tubuh yang hampir selalu perempuan kurus hitam bersanggul seperti
meresonansi-kan akunya sendiri itu di-sublimasikan kedalam ritus kesaksian dan
keterlibatan. Ekspresi wajah patung-patung perunggu itu sekilas mengingatkan
saya pada karya pelukis Norwegia Edvard Munch (1863-1944) yang berjudul
"Scream". Sementara sosok-sosok itu membawa imajinasi saya pada
wayang, juga boneka Batak dari kayu dengan baju tenun ikat yang ditarikan,
Sigale-gale.
Tentu itu semua hanya ingatan dan kesan
dari seorang outsider, seorang amateur, seorang flaneur yang
menyukai dan menikmati perjalanan yang kadang-kadang tanpa tujuan yang pasti.
Dalam perjalanan ke Tubaba (Tulang Bawang Barat) di Lampung, ditengah hutan
karet yang meranggas, saya melihat patung Dolorosa ditegakkan disana. Patung
itu mengkilat dalam terik matahari katulistiwa menghadirkan sosok seperti
perempuan berbalut serba putih seperti sedang memandang sesuatu di kejauhan.
Dari seorang kawan yang menemani
perjalanan di Tubaba itu saya diberitahu bahwa patung itu adalah tribute
untuk seorang ibu dari keluarga pemilik perkebunan dan pabrik gula di Lampung.
Ibu ini dikenal dermawan dan mendorong pendirian sebuah politeknik modern di
Tubaba. Melihat patung di tengah hutan karet yang terlihat meranggas dan tak
lagi produktif itu saya merasakan dedikasi seorang ibu tentang perlunya tempat
pelatihan vokasi bagi anak-anak Lampung yang sukmanya ditiupkan Dolorosa.
Saya dan Dolorosa
Saya dan Dolorosa lahir pada tahun yang
sama, 1952, saya akhir Januari dia akhir Oktober. Dolo lahir di Sumatera Utara
saya di Jawa Tengah. Setelah lulus SMA, pada tahun yang sama, 1970, Dolo kuliah
di LPKJ, yang berkampus di TIM, saya di Fakultas Psikologi UI yang berkampus di
Jl. Diponegoro 82, kemudian pindah ke Salemba 4 dan akhirnya ke Rawamangun.
Dolo dan saya sama-sama pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa, ketika pemerintah
Orde-Baru yang represif berkuasa. Kami sebaya segenerasi, baby boomers.
Orde-Baru menghadirkan rezim politik militer
dan teknokrasi dengan kredo stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Dibawah
rezim ini kebebasan menjadi barang langka dan mahal. Paradoks-nya, kebebasan
menjadi kebutuhan nyata dan harus diraih. Orde Baru diluar kemauannya justru
menciptakan kesempatan untuk memperjuangkan kebebasan. Saya dan Dolorosa adalah
generasi produk Orde Baru yang hidup dalam paradoks ketidakbebasan yang
melahirkan perlawanan.
Dalam paradoks ketidakbebasan dan tumbuh
dibawah pemerintahan nasional yang represif kota Jakarta memiliki seorang
gubernur yang meyakini bahwa kesenian dan kebudayaan penting dan harus
dikembangkan seiring dengan program perbaikan kampung dan peningkatan
kesejahteraan warga kota Jakarta. Ali Sadikin yang berlatarbelakang militer
dari Angkatan Laut diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Gubernur Jakarta.
Kedekatannya dengan para budayawan mendorongnya utuk membangun pusat kesenian
yang bernama Taman Ismail Marzuki. Taman Ismail Marzuki yang menjadi rumah dari
Dewan Kesenian Jakarta (DKI) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) adalah sebuah
oase kebebasan dalam penjara besar yang bernama Orde Baru. Saya bayangkan
Dolorosa menghabiskan waktu sehari-harinya di TIM sebagai mahasiswa jurusan
patung di IKJ.
Dolorosa boleh dikatakan hidup didalam
pagar oase kemerdekaan; sementara saya sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UI
adalah seorang flaneur yang sering berkunjung menikmati berbagai
kegiatan seni, dan juga diskusi-diskusi di TIM. Rendra, Jack Lesmana, Teguh
Karya, Sardono, Retno Maruti, tapi juga STA, Mochtar Lubis, Umar Kayam dan
Soetarji Calsoem Bachri. Bisa saja saya pernah berpapasan dengan Dolorosa di
ruang pameran senirupa, mungkin juga kami
pernah duduk di bangku panjang yang sama di teater terbuka menyaksikan pementasan
Rendra atau pertunjukan Jack Lesmana. Saya dan Dolorosa menikmati paradoks
ketidakbebasan dalan geliat kemerdekaan yang hampir tak terbendung di TIM.
Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa saya dan Dolorosa adalah bagian dari
segelintir warga negara Indonesia yang menikmati kemewahan sebuah elite
intelektual di negeri yang sebagian besar warganya masih miskin dan
berpendidikan rendah.
Dalam pameran untuk memperingati hari jadi
kota Jakarta Dolorosa menampilkan patung-patung yang diharapkannya bisa berdialog
dengan karya-karya perupa lainnya. Tema pameran yang diangkat panitia “PROVOKE”
tampaknya memang bertujuan untuk membuka ruang dialog antara para perupa
sendiri maupun dengan publiknya. Dalam pameran ini Dolorosa Sinaga memilih
menampilkan:
1
2
3
4 dst
Karya-karya diatas….
1965 dan Zaman Bergerak
Ketika orang dibantai, disiksa, di penjara
dan dibuang untuk menegakkan sebuah tatanan politik; sudah hampir pasti sejarah
resmi hanya berisi kebohongan, dan masyarakat hidup dalam iklim ketakutan. 1965
adalah penanda dari kekejian sebuah
rezim dan pada saat yang sama penanda bagi mereka yang merindukan kebebasan dan
kemerdekaan. Sebagai perupa yang memilih menjadi saksi, Dolorosa adalah
akademisi dan intelektual yang memilih terlibat. Dolorosa tidak mau menghindar
dari tragedi 1965 yang telah menjelma
menjadi trauma bangsa. Trauma yang harus disembuhkan jika bangsa ini tidak
ingin terus disandera masa lalunya. Trauma yang akan terus menghantui
perjalanan bangsa yang sesungguhnya besar dan kaya ini.
Mas Marco jurnalis kritis masa kolonial
menyebut zaman pergerakan tahun 1930-an itu zaman "balik buwono",
zaman jagad terbalik berjumpalitan, zaman bergerak. Setengah abad kemudian
Anthony Giddens, sosiolog Inggris, mengistilahkannya sebagai dunia yang
tunggang langgang, run away world.
Mas Marco, jurnalis pribumi di Hindia Belanda setengah abad sebelumnya,
telah mengenal globalisasi. Dolorosa mengenyam pendidikan pasca-sarjana di
Inggris dan Amerika Serikat. Patung-patung kayanya menyebar di berbagai tempat
tidak hanya di Rangkasbitung dan Tubaba tetapi juga di Tuscany dan Hue.
Zaman tidak pernah berhenti bergerak
seperti patung-patung yang akan terus dibuatnya. Patung-patung yang dipamerkan
kali ini sengaja dipilih untuk mengisi ruang publik yang hari-hari ini justru
terasa kosong. Ada yang dirasakan hilang, tidak tahu apa. Patung-patungnya
adalah sukma yang meraga untuk mengisi ruang yang terasa kosong ini.
Gagasan-gagasan yang ingin disampaikan sebagai ritus sekaligus praksis dari
kesaksian dan keterlibatannya di negerinya sendiri maupun diluar sana.
Gagasan-gagasan nya bertolak dari
ketegangan dan kegelisahannya sebagai seorang intelektual. Dolorosa Sinaga
melalui patung-patung yang diciptakannya memprovokasi kita untuk berdialog
tentang ketidak adilan yang masih banyak ditemukan di sekitar kita. Dolorosa
Sinaga seperti patung-patung ciptaannya selalu bergerak bersama komunitasnya
sebagai bagian dari ruang publik.
Dolorosa, juga saya; adalah sebuah
generasi yang tumbuh brsama Orde-Baru yang represif. Kami memilih menjadi
bagian dari Gerakan resistensi yang melakukan perlawanan dan beruntung mengalami
berakhirnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998. Sejak itu kami bersama memasuki periode politik yang dikatakan
reformasi ketika berbagai perubahan politik terjadi namun tampaknya tanpa perubahan
politik (political change without change in politics). Seperempat abad setelah
kejatuhan Orde-Baru kita mulai melihat bangkai Orde-Baru itu seperti mulai
hidup kembali.
Komunitas adalah tempat bagi Dolorosa
untuk membangun kesadaran bersama akan perlunya terus bergerak bertukar ide dan
gagasan untuk mengubah keadaan menjadi lebih adil dan setara. Dalam upaya
menciptakan komunitas epistemik yang menjadi kepeduliannya inilah saya merasa
berjalan seiring bersama Dolorosa Sinaga.
Dolorosa, Jakarta, Indonesia dan
Dunia
Pameran ini adalah bagian dari perayaan
hari jadi Kota Jakarta yang pada awal tahun 1970-an memiliki seorang gubernur
yang progresif dan mengerti makna kesenian dan kebudayaan sebagai bagian
penting dari peradaban umat manusia.
……………….
Komentar
Posting Komentar