Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2001

John Rossa and Alit Ambara (2001)

  EMBODIED SELVES: A Retrospective of the Sculptures of Dolorosa Sinaga Curators : John Rossa and Alit Ambara The exhibition of Dolorosa Sinaga’s sculpture at the National Gallery in October 2001 represents a rare historical moment for Indonesia’s art world. One of the country’s foremost sculptors at the top of her craft is holding her first solo exhibition and presenting a two-decade retrospective of her work. This is a valuable opportunity to gain a sense of both the teremendous diversity and overall coherency of an important artist’s oeuvre. Dolorosa has, over the past twenty years developed a distinctive style. All her sculptures are recognizable representations of the human body and evoke emotions as universal as the body itself. Moving away from her earlier abstract art, she has exclusively focused upon the body as the ultimate, untranscendable grounding of the human experience. Her chosen medium, metal, allows a myriad of micro-textures and subtleties while simultaneously

M.Firman Ichsan (2001)

Dolorosa: Pencarian Tanggungjawab Ideologis dari Sebuah Kerja Estetis M.Firman Ichsan   Bertahun menyatakan diri sebagai pematung, lewat berbagai pameran dan aktivitas publik lain yang berkait, melahirkan berbagai tulisan tentang Dolorosa Sinaga. Ada yang melihatnya sebagai perempuan pematung, berdasar “keheranan klasik” atas pilihan seorang perempuan untuk menjadi pematung. Dan ada yang melihat Dolo sebagai pematung perempuan, karena perempuanlah yang mendominasi hampir seluruh karyanya, baik tema ataupun figur bersanggul. Di luar itu tentu saja ada berbagai pendekatan lain yang dapat dikatakan telah melengkapi bagasi kita untuk melihat karya –karya Dolo dengan lebih nikmat dan inspiratif. Mereka yang menulis latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman Dolo, juga berjasa besar membantu kita lebih memahami proses pembentukan citra rasa estetis maupun ekspresif hasil kerjanya, baik secara wujud ataupun isi. Tetapi agaknya masih ada celah-celah pertanyaan yang harus diu

Martin Aleida (2001)

DOLO: satu impresi Martin Aleida Seni adalah hasil proses pergulatan dalam menentukan pilihan. Setidak-tidaknya inilah yang bisa diraba dari kekuatan dan kelenturan jari Dolorosa Sinaga. Setelah satu dasawarsa bergumul dengan berbagai media, terutama kayu dan batu pualam, akhirnya dia memutuskan untuk mengasah kemahirannya pada kerasnya perunggu sebagai media pernyataan sikap. “Dengan media kayu, aku merasa tidak berkembang. Aku dibatasi gerak yang semata-mata mengurangi. Pada lilin dan tanah liat sebagai media, aku berhadapan dengan desakan untuk menambah, ditantang untuk mencapai bentuk yang kuinginkan,” katanya ketika diminta memberikan uraian mengenai “cintanya yang terakhir,” yang jatuh pada metal yang tua itu. Bagi kalangan seniman, pernyataan tersebut barangkali bukanlah kesimpulan baru yang merangsang. Namun, buat orang awam, dengan kesadaran yang sedang-sedang saja, ungkapan itu bisa membangkitkan tafsir tentang betapa tingginya Dolo dalam memuja dan mempertahankan li

Detlef Gericke-Schönhagen (2001)

Pameran Dolorosa Sinaga di Galeri Nasional (9-Okt-01 sampai 30-Okt-01):  K äthe Kollwitz  -Dolorosa Sinaga Setiap seniman mempunyai idolanya. Jika Dolorosa mengunjungi Berlin, maka Museum K äthe Kollwitz  (1867 – 1945) dulu hidup di Berlin. Sebagai perempuan dia bekerja dalam sebuah domain yang didominasi oleh laki-laki, secara konkret dia bekerja dalam sebuah masa yang dibentuk oleh abstraksi. Dia adalah seorang seniman perempuan yang secara sosial terlibat penuh dan radikal. Walaupun gayanya konservatif, dia telah mengembangkan retorika gambar-gambar yang kuat, yang sampai sekarang belum ada tandingannya. Tumbuh dalam sebuah keluarga kelas menengah yang solid dan religious, sejak kecil dia sudah bersentuhan dengan music dan sastra. Ayahnya tidak mau memasukkan dia ke sekolah umum yang pada waktu itu member pendidikan yang keras dan seragam, karena itu ayahnya menyediakan K äthe  dan saudara-saudaranya pelajaran privat. K äthe Kollwitz  muda bukanlah seorang pemberontak, tapi sejak aw

Mamannoor (2001)

Patung Dramatik Dolorosa Sinaga: Saksikan Cerita Perempuan Mamannoor Di musim dingin 1993, saya tercekat di depan patung tembaga “Kathe Kollwitz” karya seorang perempuan pematung Jerman Timur. Kollwitz dihadirkan duduk (diam) dalam ekpresi keanggunan, kehormatan, dan ketegaran seorang perempuan di tengah pelataran sebuah taman kota Berlin Timur yang lengang. Konon, karya ini sengaja dipersembahkan sebagai tanda penghargaan kepada perempuan ‘jawara grafis’ yang paling menonjol di Jerman sepanjang abad ke-20. Sikap menghargai tokoh perempuan perupa ini tak luput pula dilontarkan oleh sejarawan dan pengamat seni rupa macam Whitney Chadwick. Inilah sebuah gambaran, betapa tokoh seni rupa di Jerman telah memperoleh tempat yang layak untuk dimonumentasikan karena jejak-jejak perjuangan hidupnya.   Saya bayangkan, telah tiba pada gilirannya; patung Kartini, Dewi Sartika, Tjut Nyak Dhien, Christina Martatiahahu, atau perempuan-perempuan pejuang lainnya menghiasi taman-taman kota di Ind

Heidi Leanne Arbuckle (2001)

  Why have there been no great Indonesian women art critics? Heidi Leanne Arbuckle In 1973, set amit the height of second wave feminism, renown feminist artist and scholar, Linda Nochlin, proffered the question;’Why have there been no great women artist?’ 1 Her question, which intended to spark debate rather than bemoan the apparent lack of ‘great’ women artist, is often considered the precedent for the genesis of feminist art history in America. Nochlin, although not the first to look at art from a political and historical perspective, offered a different theoretical approach to the feminist before her. Consecuently, Nochlin identified that part of the reason why there had been no ‘great’ women artist was not necessarily located in women’s artwork itself, but rather, in art history discourse, and the criteria it precludes. Thus Nochlin concluded that the ‘great’ artist could only be a white, middle-class. Male subject. In Indonesia today, it would be farcical to pose the same